Fly with your imajination

Tuesday, September 3, 2019

JEJAK#1

 Sangat dianjurkan memberi saran dan kritik.

Terima kasih 😊.

SELANJUTNYA

Jejak
by
Mickey139

***



○○○

Dalam tiap persahabatan akan selalu ada halangan yang menguji keeratan hubungan itu. Kita akan diberi pilihan, apakah kita bisa menyelesaikannya atau justru melarikan diri?

○○○

BAGIAN 1 : Teman # Penyakit


"Tidak boleh ada persaingan, terlebih kalau ada cowok yang kita suka.”

“Iya.”

“Saling dukung.”

“Iya.”

“Kalau ada masalah langsung cerita.”

“Iya. Ih bawel banget deh.”

“Gak usah protes. Iyain aja.”

Dengan anggukan malas Riza Mastika menjawabnya, dari pada dia mendengar omelan Janeta yang panjangnya melebihi Tol Terbanggi Besar. Sudah membuat telinganya panas, dia juga tidak bisa protes karena Tata pasti akan semakin memanjangkan omelannya dan besoknya ia akan mendapatkan muka kecut dari sahabatnya itu, plus tidak diberi jatah kue buatan gadis itu yang enaknya selalu nagih.

“Iya deh, iya.”

“Janji?” Tata panggilan Riza pada Janeta kemudian menjulurkan jari kelingkingnya kepada Riza yang kemudian dibalas malas-malasan oleh sahabatnya itu.

“Janji.”

“Ih, kok gak semangat gitu sih? Semangat dong.”

“Ya ampun, siapa sih yang semangat kalau ditahan sejam hanya untuk diomelin? Gak ada.” Balas Riza jengkel.

Janeta terkekeh melihat muka sahabatnya yang sudah seperti jeruk nipis telah diperas. Kecut dan kerut. Tapi, sahabatnya itu sudah salah dan sebagai sahabat yang baik, dia berkewajiban untuk memberi siraman rohani agar bisa membuat sahabatnya itu kembali pada jalan yang baik.

“Makanya jangan diulangi lagi. Punya masalah kok disimpan sendiri sih? Kalau gitu, gunanya aku sebagai sahabat kamu apa? Cuma pajangan yang dijadikan status gitu?”

Riza menghela, “Iya deh, lain kali kalau aku ada masalah, aku bilang ke kamu.”

“Nah gitu dong. Jadi, kenapa kemarin kamu pingsan? Padahal sebelumnya kamu baik-baik saja.”

“Ih dibilang kurang tidur."

"Masa?"

Riza menghela nafas jengkel. Pertanyaan itu sudah berulang kali terlontar dari bibir sahabat itu dan berulang kali pula ia menyahut dengan hal yang sama, tetapi sahabatnya itu masih saja ngotot dan tidak percaya.

"Tataaaaa..." Riza menyahut kesal. "Malas, ah. Sudah berapa kali dijawab, masa ditanya terus. Kesal tahu nggak."

Dan Janeta, bukannya merasa bersalah, ia justru terkekeh melihat raut kesal sahabatnya itu. "Iya, iya." sahutnya setelah menyelesaikan kekehannya.

"Sekarang aku boleh pergi, kan?”

Janeta mengangguk, “Yapz. Dan jangan lupa besok.”

“Hm...”

“Ya udah pergi gih.”

Riza memutar matanya bosan mendapati balasan sahabatnya itu. Tapi, tak urung ia juga melangkahkan kakinya dari rumah besar yang terasa kosong tersebut.

♡♡♡

Rasa getar ponselnya membuyarkan semua lamunan Riza. Langkahnya terhenti tepat di depan gerbang rumah Janeta sebelum keluar. Riza kemudian membuka ponsel dan membaca pesan yang dikirimkan oleh ibunya.

Langsung pulang yah, Nak. Kita ke Rumah Sakit sekarang. Dokter Herman sudah menghubungi mama.

Riza membalasnya dan segera berlalu menuju rumahnya.

Hari ini tepat seminggu dari waktu yang dijanjikan oleh Dokter Herman pada Riza untuk membacakan hasil laboratorium dari pemeriksaan gadis itu. Bersama dengan sang ibu, Riza menemui Dokter Herman. Ayah Riza tidak bisa menemani karena dinas ke luar kota, namun begitu Sang Ayah tetap memantau keadaan putrinya, meski hanya lewat alat komunikasi.

Kini Kinan, ibu Riza dan Riza sendiri sudah duduk di hadapan Dokter Herman. Dalam suasana yang hening dengan degupan jantung yang cepat, mereka menunggu penjelasan dokter ketika membuka hasil laboratorium Riza.

Doa terus mereka panjatkan dalam hati. Berharap keadaan Riza tak terlalu serius. Penyakit yang singgah di tubuhnya adalah penyakit biasa yang bisa disembuhkan dengan cepat.

“Sebelum saya menjelaskan, boleh saya bertanya?" Dokter Herman membuka suara sebelum membuka hasil pemeriksaan Riza dan membuat ibu dan anak di hadapannya semakin was-was.

"Silahkan, Dok."

Sejenak Dokter Herman menghela nafas. Rautnya menunjukkan perasaan tak enak untuk membahas penyakit Riza.

“Apa sebelumnya anak Anda pernah transfusi darah?”

Kinan diam dan berpikir lalu beberapa detik kemudian ia mengangguk, “Iya Dok. Dulu anak saya pernah kecelakaan dan karena kekurangan banyak darah pengendara mobil yang juga terlibat kecelakaan menyodorkan darahnya untuk segera ditransfusi ke anak saya, Dok. Apakah itu adalah masalah?”

Dokter Herman mengangguk. Ia memejamkan matanya sebelum memulai penjelasan tentang hasil pemeriksaan Riza.

“Anak ibu...” jeda beberapa detik. Dokter Herman menghirup nafas lalu menghembuskannya perlahan dan membuat dua orang di depannya semakin merasa gugup dan takut. Ia tahu, apa yang akan ia jelaskan sebentar lagi pasti akan membuat keluarga itu terguncang. “Terkena HIV/AIDS.”

Untuk beberapa saat, suasana hening tercipta. Udara dari AC ruangan tak membuat Kinan yang tidak tahan AC merasa kedinginan. Pikirannya berusaha menafsirkan apa yang dijelaskan oleh Dokter Herman. “Dokter, tidak salahkan?” tanyanya dengan frustasi yang sudah membayangi bola matanya.

Dokter Herman menggeleng pelan, “Saya tidak salah, Buk.”

“Atau hasil itu bukan milik anak saya, Dok?” masih tak mau menerima, Kinan kembali bertanya dengan suara yang sudah naik beberapa oktaf.

“Ini adalah hasil lab Riza.” namun, Dokter Herman tetap menjawab dengan sopan dan ramah.

Kinan menggeleng kuat dengan air mata yang perlahan mengucur dari ke dua matanya. “Tidak mungkin, Dokter. Anak saya tidak mungkin mengidap penyakit nista itu. Dokter pasti salah.”

Dokter Herman diam, tak menjawab pertanyaan itu. Ia tahu bagaimana terpuruknya sebuah keluarga bila mendengar salah satu keluarga mereka mengidap penyakit mematikan. Terlebih penyakit itu adalah penyakit kelamin yang notabenenya dianggap paling buruk di masarakat karena penyebarannya.

Sementara di sebelah Kinan, Riza hanya bisa menutup mata. Rasa takut tiba-tiba menyeruak, membuat tubuhnya terasa lemah dan lemas. Tidak ada yang bisa ia pikirkan sekarang selain, pertanyaan-pertanyaan tentang kondisinya dan apa yang harus ia lakukan selanjutnya.

Kinan di sebelahnya belum berhenti menangis, memeluknya dalam pelukan erat yang entah kenapa tidak bisa lagi ia rasakan nyamannya.

“Dokter, apakah anak saya bisa sembuh?” Kinan kembali bertanya masih dalam sesenggukan, berharap ada setitik harapan dari jawaban yang akan dilontarkan oleh dokter di hadapannya itu.

Dokter Herman menggeleng pelan. “Maaf, Buk." Karena meski ia ingin menenangkan keluarga itu, nyatanya kenyataan tak bisa disembunyikan. Dan sebagai seorang dokter yang sudah kenal dekat dengan keluarga itu, ia tidak bisa berbohong hanya untuk menyenangkan keluarga itu. "Sampai saat ini pengobatan HIV/AIDS masih dalam proses penelitian. Yang bisa kami lakukan hanya memperlambat perkembangan penyakit ini.”

“Ja... jadi anak saya hanya bisa menunggu sampai kematian menjemputnya?”

Dokter Herman tak bisa menjawabnya. Karena ia tahu, penjelasannya tadi sudah cukup memberikan jawaban. Dan ia pun sangat menyanyangkan Riza, yang dia kenal sangat baik, ramah, dan periang bisa mendapatkan musibah itu.

Dokter Herman berharap, Riza bisa tabah dan tegar untuk cobaan itu.

“Ya Allah, kenapa cobaan ini datang kepada anakku?” Kinan kembali menangis, meraung sambil mendekap tubuh lemah putrinya. Semenara Riza sendiri masih bergeming di tempat. Mulutnya terkunci rapat dengan air mata yang terus mengalir dari ke dua matanya tanpa suara.

Dosa apa yang sudah ia lakukan sampai mendapat cobaan sebesar itu?

Riza sangat berharap bahwa apa yang ia alami sekarang adalah mimpi. Bunga tidur yang akan menghilang ketika ia bangun nanti.
♡♡♡


SELANJUTNYA

Mickey139
Bagaimana pendapatmu dengan cerita ini?
Share:

0 komentar:

Post a Comment

TERBARU

Copyright © 2014 - SUKA SUKA MICKEY | Powered by Blogger Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com