Fly with your imajination

Saturday, October 20, 2018

CIDAHA - Kisah Akhir Yang Bahagia

CERPEN

SELANJUTNYA

CIDAHA - CINTA DALAM HATI
Dalam Diam Ada Cinta Yang Terajut

by

MICKEY139

*****


****

Banyak yang bilang, kalau kita hidup di dunia itu hanya sekali dan kalau ada kesempatan maka harusnya kita manfaatkan dengan sebaik-baiknya.

Ada yang bilang, kalau ingin bahagia, cara ampuh untuk mendapatkannya adalah dengan mengikuti kata hati. Karena dengan mengikuti kata hati, kita akan mendapatkan ketenangan batin juga kebahagian yang hakikih.

Namun, kenyataannya hidup itu tak semudah kata orang. Tak semudah kata bijak dari para motivator terkenal. Ada beberapa tahap yang perlu kita lakukan untuk mendapatkannya. Seperti saat kita ingin makan makanan dari sebuah restoran. Ada beberapa tahap yang perlu kita lakukan. Yang pertama adalah mencari tempat duduk, kedua adalah memesan, dan yang ketiga adalah menunggu sampai pesanan kita di antar.

Yah, hidup adalah sebuah proses dan bahagia adalah hasilnya.

Dan saat ini, tepat di sampingku sudah duduk seseorang yang sebentar lagi akan menemaniku menghabiskan sisa hidup setelah ia mengucapkan ijab qabul di hadapan penghulu, di hadapan kedua orang tuaku, di hadapan orang tuanya, dan di hadapan beberapa saksi yang ada di dalam ruangan.

Perlu beberapa tahap agar kami sampai di sini. Seperti yang kukatakan tadi, untuk mencapai sebuah kebahagiaan kita akan melakukan tahap-tahap seperti memesan makanan. Usaha, sabar, dan hasil.

Adalah Farzan Rayhaan Shakeil yang beberapa menit lagi akan menyandung status sebagai suamiku setelah beberapa kalimat terucap dari mulutnya.

"Saya terima nikah dan kawinnya," aku memejamkan mata seraya berdoa dalam hati agar Reza tak melakukan satu kesalahan. "Ameera Risya binti Abdul Hanif dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan uang senilai lima juta seratus dua ribu delapan belas rupiah, dibayar tunai."

"Sah!"

Dan saat kata 'sah' terlontar dari bibir orang-orang yang ada di dalam ruangan ini, hatiku benar-benar merasa legah bercampur rasa haru luar biasa. Akhirnya, kami bisa bersama dalam status legal yang di sahkan oleh agama dan hukum.


END


***

Aku menutup Novel yang baru saja selasai kubaca diam-diam di balik buku pelajaran. Novel ini berkisah sepasang kekasih yang harus terpisah karena impian mereka, namun pada akhirnya bisa bersatu kembali, meski dengan lika liku yang panjang. Air mata, perpisahan, dan bahagia adalah fase yang tidak pernah terpisah dari kisah romansa dari novel bahkan pada kehidupan yang sesungguhnya.

Aku menghela napas ketika dosen tak menyadari kegiatanku yang sudah berlangsung hampir setengah waktu dari mata kuliahnya. Dosen itu masih asik dengan dunianya, rumus dari mata kuliah yang ia ajarkan berhamburan di udara hingga tak ada satu pun yang bisa otakku tangkap.

"Pssst... Ray"

Aku melirik pada Layla yang terlihat tak bersemangat pada mata kuliah pak Andung. Pria berkumis dengan rambut kismis yang tersisir ke belakang itu tak menghiraukan mahasiswanya yang sudah terlihat bosan.

"Pssst, Ray..."

Aku menghela kemudian berpaling pada Layla. "Ada apa?" bisikku.

"Keluar yok." ajaknya yang kujawab gelengan kepala. Menolak.

"Mana bisa." sahutku. Aku kembali memfokuskan pikiranku pada mata kuliah pak Andung, yah meski membosankan. Ayah dan Ibuku sudah susah payah membayarkan kuliahku, jadi mana bisa aku bertindak seenaknya.

"Ray, please. Aku ngantuk berat nih. Kalau begini terus aku bakal tumbang di sini."

Aku tetap menggeleng. "Tahan aja. Sejam lagi makulnya udahan kok."

"Gak bisa Ray. Atau ke kamar kecil aja deh, cuci muka, hilangin ngantuk. Please Ray."

Aku menghela, "Ya udah. Aku duluan, lima menit baru kamu."

Layla menyengir. Mata perempuan cantik itu terlihat berbinar. "Thanks Ray."

Kemudian aku bangkit, meminta izin, kemudian menunggu Layla tidak jauh dari ruang kelas.

Sembari menunggu Layla aku memainkan ponsel. Angin berhembus, menerbangkan beberapa helai daun kering hingga mengotori koridor. Mahasiswa berlalu lalang, memenuhi koridor dan aku masih fokus pada ponselku, hingga sapaan seseorang menginterupsi atensiku.

Dia adalah Reza. Reza Martanegara. Teman sekelasku dulu sejak kelas satu saat kami masih menduduki bangku sekolah menengah atas. Dia tipe lelaki yang tidak banyak bicara, namun bukan dalam artian pendiam, karena Reza bisa bersikap aktif dan jahil ketika bersama dengan orang yang ia anggap sebagai teman. Dan satu hal yang kusukai dari Reza adalah sikap pedilinya terhadap orang lain, meski ia tak terlalu mengenal orang itu.

"Ray..."

Aku memejamkan mata untuk menenangkan detak jantung yang sudah bergemuruh hebat karena kehadiran laki-laki itu.

"Kamu hanya sendirian?" tanyanya. Salah satu tangannya berada di dalam saku celana sedangkan tubunhnya ia sandarkan pada dinding.

Aku menunduk, memalingkan mata agar tidak bersinggungan dengan matanya.

"I ... iya..."

"Layla?"

Deg.

Janutngku bergemuruh oleh rasa tak nyaman dan sesak yang tiba-tiba menghimpit dada. Yah, seharusnya aku sadar diri, Reza tak sedikit pun tertarik padaku melainkan pada sahabatku sendiri.

Siapalah aku. Perempuan aneh yang hanya bisa bermimpi suatu saat bisa dipersatukan dengan pangeran impiannya.

Aku manarik napas panjang sebelum menghembuskannya secara perlahan, lalu mendongak dan memberanikan diri untuk menatap matanya, "Kamu ada perlu dengan Layla?" tanyaku seraya tersenyum. Paksa, pedih, dan miris adalah tiga perasaan yang bercampur hingga membuat goresan memanjang di dalam dada. "Tunggu saja sebentar lagi dia bakal datang kok. Kami sudah janjian di sini."

"Eh ... Oh ... ya sudah, kalau gitu aku tunggu saja. Kamu gak keberatan, kan?" tanyanya dengan cengiran kas yang hanya ia perlihatkan pada orang-orang yang ia anggap.

Namun, meski keberatan, memang dia akan pergi? Mana mungkin. Alhasil, aku hanya mengangguk sembari menunduk dan menunggu kedatangan Layla.


***

Hanya berselang kurang lebih lima menit Layla datang. Wajahnya berseri, tidak nampak jika beberapa menit yang lalu ia mengeluh karena matanya sudah berat. "Sori, aku kelamaan yah?"

Aku menggeleng, "Nggak kok. Eh betewe, mukamu sudah ceria yah? Mana tuh muka lusuh kayak cucian basah tadi?"

Layla terkekeh, "Sudah hilang. Kan sudah dijemur sama Rayna."

Aku mendengus, tetapi ikut terkekeh juga. Lalu aku memberi Layla kode lewat mata untuk memberitahu jika di tempat kami sekarang bukan hanya ada kami berdua, melainkan ada tambahan satu orang lagi.

Layla mengikuti arah mataku dan berpaling menatap Reza. Keningya menyerngit lalu kepalanya memiring tanda heran melihat Reza bisa bersamaku. "Kok kamu bisa di sini?" Matanya menyipit menatapku bergantian dengan Reza. Ia mengangguk pelan lalu terkikik, "Kalian--"

"Dia nungguin kamu." kataku memotong ucapannya. Tapi, dalam hati aku berharap jika apa yang ingin diucapkan Rayna menjadi nyata.

Reza mengangguk, "Iya. Kita lagi nungguin kamu." Sanggahan yang membuat sesuatu di dalam diriku berdesir tak nyaman. Yah benar, aku memang menyukai Reza. Sudah lama. Bahkan sebelum aku dan Layla berteman. Sebelum aku memasuki perguruan tinggi.

Ini semua diawali oleh insiden ketika kami masih berstatus anak sekolahan, tepatnya ketika aku sudah menginjak kelas sebelas. Tanpa sengaja aku bertemu dengan preman yang sering diceritakan oleh penghuni sekolah. Dia kasar, tidak memandang laki-laki atau perempuan, dan suka mencari perkara dengan orang lain, terlebih kepada anak-anak sekolahan. Namun, bukankah rata-rata preman memang memiliki sifat seperti itu?

...

Hari itu mungkin adalah hari sialku, karena selain lupa bekal dan tugas dari guru killer, aku juga terlambat dan ketika pulang, tanpa sengaja minumanku tumpah ke baju preman dan membuat bajunya basah. Tapi, sebenarnya preman itulah yang memang sengaja menabrakkan dirinya padaku. Karena jika tidak, aku tidak mungkin terjatuh sementara dia tetap berdiri tegak di depanku.

Dia marah, tentu saja. Seperti yang aku perkirakan. Preman dengan bau tak sedap itu tiba-tiba membentakku dan sialnya lagi tidak ada seorang pun yang datang menolongku meskipun di sana banyak orang. Yang mereka lakukan hanya menatap kami dengan pandangan meneliti lalu berlalu, bahkan ada yang sampai merekam.

Preman itu kemudian menyeretku ke tempat yang sepi lalu menghempaskan tubuhku ke dinding. Ia melirikku dari atas ke bawah, menelitiku. Dan ketika ia melihat gelang yang kupakai, ia berusaha menariknya.

Aku berusaha mempertahan, tapi yang namanya kekuatan cewek, dibanding kekuatan cowok, itu tidak berguna. Aku kalah dan preman itu merebut gelang milikku. Aku masih berusaha namun preman itu malah mendorongku dan aku hampir menabrak dinding kalau tidak ada orang yang menolongku.

Aku berbalik, takut-takut kalau dia adalah salah satu teman preman itu.

"Re...reza?" kataku tergagap karena tidak menyangka jika dia akan datang dan- mungkin- akan menolongku.

"Kamu tidak apa-apa?" tanyanya.

Dan tanpa kumau air mataku tiba-tiba merembes.

"Re...reza tolong, gelangku. Itu gelang Nenek."

Reza mengangguk. Kemudian tanpa menjawab ia memajuki preman itu.

"Tolong kembalikan gelang teman saya, Mas." katanya seraya mengulur tangannya ke hadapan preman itu.

"Lo siapa, hah? Mau jadi pahlawan? Cuih," Wajahnya semakin geram melihat kami. Beberapa orang yang tanpa sengaja lewat semakin banyak menggerubungi, namun tak seorang pun berani melerai. Mereka semua terlihat tak peduli pada perdebatan kami, tetapi malah menonton.

"Saya tidak sedang mencoba menjadi seorang pahlawan." kata Reza dengan sopan, yang dibalas dengan dengusan menjijikkan oleh preman itu.

Reza menghela napas jengkel. "Tapi, kamu memang sudah salah karena sudah mengambil gelang milik teman saya. Apalagi kamu itu laki-laki. Apa kamu tidak malu sebagai laku-laki dewasa? Atau kamu tidak punya itu." katanya lagi dengan nada merendahkan. Tak ada lagi sopan dari tutur katanya.

Wajah preman itu memerah, "Persetan!" serunya geram. Lalu dengan cepat preman itu maju dan melayangkan sebuah pukulan pada Reza



Reza menyeringai, lalu menghindar dan membalasnya. Perkelahian tak bisa dielak. Mereka berkelahi, tapi orang-orang di sekitar malah sibuk menikmati tanpa mau repot-repot melerai. Dan pada akhirnya, Reza membawaku lari ketika dua teman preman itu datang dan berniat membantu preman itu.

Namun, karena hakikatnya memang kaki laki-laki lebih panjang di banding kaki cewek, selangkah kaki mereka sama dengan dua langkah kaki cewek, jadilah aku ngos-ngosan ketika berlari bersamanya. Napasku sesak karena dipaksa terus berlari. Dan tepat ketika mau melewati lorong, aku sudah tidak sanggup. Kakiku berhenti berlari pun diikuti oleh Reza di depanku.

"Reh ... zah ... Ah ... ku ... capek...." dan ingin pingsan kalau tetap diteruskan.

Reza berhenti dan menatapku. "Kamu gak apa-apa?" tanyanya.

Aku menggeleng, bodoh sekali kalau aku bilang 'tidak' dan aku akan jadi perempuan egois jika bilang 'iya'.

"Kita hampir sampai di pos polisi. Tinggal dua kali pembelokan, kita sampai. Kalau kita di sini terus, kita bakal terkejar." kata Reza.

Aku menarik napas dalam lalu berusaha untuk bangkit, sayangnya keinginanku itu kalah sama kekuatan fisikku. Aku kembali luruh dan terduduk di jalan.

"Ka...kalau gitu kamu pergi aja." kataku dengan napas yang masih ringkih. Masalah ini bermula karena aku, Reza hanya ingin membantuku dan ia sudah cukup mendapatkan luka karena itu.

"Ha?! Kamu bercanda, 'kan?"

Aku menggeleng. "Ini salahku dan kamu tidak usah terlibat lagi. Kamu akan celaka jika menolongku terus. Lagipula, aku ini perempuan, mana mungkin mereka akan memakai kekerasan fisik pada perempuan."

Jujur aku merutuki perkataanku sendiri. Mana mungkin preman-preman itu punya hati nurani. Jika mereka memang memilikinya, aku tidak mungkin di palak seperti tadi dan mengejar kami seperti maling yang ingin dibumihanguskan.

"Bodoh. Kalau mereka memang memandang perempuan, gelang kamu tidak mungkin dirampas." Aku menyetujui perkataannya dalam hati. "Kamu sudah kuat berdirikah?"

Aku kembali berusha, namun tetap saja tubuhku meluruh.

"Kamu pergi aja, biar nanti aku sembunyi." kataku mencoba meyakinkannya.

"Ya sudah. Kita berdua sembunyi dulu." ucapnya kemudin menarik tanganku dan membantuku berjalan menuju lorong sempit di antara gedung-gedung. Reza seperti sudah tahu jalan yang kami lalui ini, karena dia bisa begitu mudah melewatinya. Bahkan pada sela-sela kecil yang hanya bisa dilewati satu orang dengan tubuh kecil.

Beberapa derak langkah terdengar di antara sunyinya lorong-lorong. Aku yakin sekali jika suara jejak langkah itu adalah milik preman-preman tersebut.

"Di mana mereka?"

Salah satu suara preman itu terdengar, memecah kesunyian. Aku dan Reza sudah berada di lorong paling sempit dan bersembunyi di balik bayang yang gelap.

"Cari. Mereka sudah buat gua malu. Mereka harus dapat ganjaran yang berat."

"Ck, cari pake tenaga, bukan pake mulut, Goblok. Semakin lu teriak, mereka semakin jauh dari jangkauan kita."

"Memang bego ni orang. Ototnya aja yang gede, otaknya lebih kecil dari taik lalat."

"Diam lu pada. Gua gak butuh bacot gak berguna. Yang gua butuh mereka sekarang juga."

Jantungku semakin berdebar tat kala salah seorang dari mereka sudah berada di depan lorong tempat kami bersembunyi. Ia majundan berusaha untuk memasuki lorong tempat kami bersembunyi, namun karena badannya yang besar, akhirnya ia menyerah.

"Gimana? Lu dapat tanda-tanda mereka ada di sini gak?"

"Gak ada jejak. Bangsaaaat..."

BRUK

Aku tersentak ketika terdengar suara benda ditendang yang cukup keras dan tidak lama kemudian umpatan-umpatan kasar keluar dari mulut mereka. Tapi meskipun begitu, mereka tetap pergi ke tempat lain. Mereka meninggalkan kami berdua dengan degupan jantung yang nyaris meledak.

Kami berdua menghela napas legah. Reza keluar dengan langkah perlahan untuk mengamati. Setelah aman, ia menyuruhku untuk mengikutinya.

"Masih bisa jalan, kan?" tanyanya perhatian lalu meraih tangankundan menuntuntuku untuk melangkah bersamanya.

Aku mengangguk, "Makasih karena sudah menolongku." ucapku penuh syukur.

"Mmm," Reza berdehem sembari matanya melirik dan mengawasi, barangkali para preman itu masih ada di sana dan menunggu kami.

"Mereka masih ada?" tanyaku. Genggaman tanganku pada tangannya kueratkan. Apalagi saat kami mendengar suara sayup-sayup derap langkah.

"Reza, kayaknya kita mesti cari jalan lain deh." kataku.

Reza mengangguk kemudian menuntunku lewat jalan lain. Hingga beberapa menit kemudian, kami sampai pada jalan besar. Jalan ramai yang banyak dilewati orang dengan banyak keamanan yang sedang bertugas.

Kami berdua menghela napas legah. Bersyukur akhirnya kami bisa selamat dari preman-preman itu.

"Terima ka- wajah kamu banyak yang lebam." kataku. Tanpa sadar aku menyentuh pelipisnya yang terluka. "Aku akan obati. Kita ke klinik yah?" kataku.

Reza menggeleng lantas tersenyum, "Gak apa-apa kok. Laki-laki itu kalau gak ada luka, belum bisa dikatakan laki-laki. Jadi gak usah khawatir. Aku malah senang dapat luka seperti ini, artinya aku ini adalah laki-laki jantan." dan kemudian ia terkekeh dengan sahutannya sendiri.

"Ya sudah." sahutku.



Keesokan harinya itulah pertemanan kami dimulai. Dari dua orang yang tidak saling menyapa, jadi teman yang- mungkin- saling peduli. Yah, hanya teman, karena selebihnya tidak ada. Kenapa? Karena baik aku maupun Reza, ketika di sekolah kami hanya saling tersenyum ketika berpapasan, atau basa-basi ketika tanpa sengaja menjadi penghuni terakhir di kelas. Tidak ada obrolan seru layaknya teman akrab, atau candaan terhadap sabahat. Tidak ada.

Lalu bagaimana bisa aku menyukainya?

Nah itu dia masalahnya. Perasaan manusia itu layaknya sebuah teka-teki yang sulit untuk dipecahkan. Tidak ada yang tahu bagaimana jalur perasaan itu. Kadang bisa bahagia hanya karena hal kecil atau bahkan bisa marah karena sesuatu yang tidak disengaja. Hari ini bisa saja kita membenci dan esok malah sebaliknya. Yah seperti itulah perasaan manusia.

Rasa penasaran yang awalnya kurasa tiba-tiba berubah menjadi kekaguman. Hari-hari berlalu, bahkan sampai ke perguruan tinggi, aku terus mengaguminya. Tanpa sadar aku malah mengikutinya, mencari tahu tentangnya, bahkan bisa dikatakan sebagai penguntit. Yah, aku melakukannya seperti orang yang terobsesi, tapi tidak pernah berani mengungkapkan.

Dalam diam aku berharap ia bisa melihatku. Memperhatikan aku layaknya seorang yang ia butuhkan. Dalam diam aku berharap perasaanku bisa tersampaikan dan ia juga bisa merasakan hal yang sama. Namun sayang, rasa cinta yang kurasa ternyata tak sampai padanya. Ia hanya menganggapku sebagai teman yang kebetulan bisa satu universitas. Bukan hanya itu, ternyata dalam kediamanku, ia pun rupanya diam-diam menyukai gadis lain.

Namnya Layla. Sahabatku. Dia cantik, baik, dan lembut tipekal perempuan yang gampang disukai oleh lelaki termasuk Reza. Yah aku tahu kalau Reza sudah menaruh hati pada perempuan itu sejak pertemuan pertama mereka. Tetapi, Layla tidak seperti perempuan modern kebanyakan yang jika didekati, dia akan antusias atau malah lebih agresif. Ia sederhana, tidak banyak gaya, dan tidak suka mengeluh. Dia perempuan mandiri yang tidak suka menyusahkan orang lain. Dan meskipun banyak yang menyukainya, tidak sekali pun ia memanfaatkan kebaikan mereka, justru dialah yang lebih senang jika dimintai tolong.

Dan anehnya, ia malah memilih dekat denganku di antara banyaknya orang yang ingin dekat dengannya. Yah, kami memang berada di satu jurusan yang sama. Jurusan yang sebenarnya tanpa sengaja kupilih asal bisa berada dalam radius Reza. Meskipun Reza tak satu jurusan denganku.

 

Mickey139



SELANJUTNYA




Bagaimana pendapatmu dengan cerita ini?
Share:

0 komentar:

Post a Comment

TERBARU

Copyright © 2014 - SUKA SUKA MICKEY | Powered by Blogger Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com