Fly with your imajination

Saturday, October 20, 2018

CIDAHA - Akhir Dari Pertemuan

CERPEN

CIDAHA - CINTA DALAM HATI
Dalam Diam Ada Cinta Yang Terajut

by

MICKEY139

****


****


Bagian 8 : Akhir Dari Pertemuan


Seminggu setelah kejadian itu, aku kembali pada kegiatan lamaku. Bekerja, bekerja, dan bekerja. Aku menghabiskan lebih banyak waktu untuk bekerja dan berusaha keras untuk menghilangkan perasaanku yang berkecamuk akibat pertemuanku dengan Reza.

Yah, laki-laki itu selalu berhasil membuat perasaanku tidak karuan.

"Rayna!"

Aku mendongak dan menatap pak Bagas yang sudah berdiri di depanku. Dia adalah direktur di sini yang biasa kusebut bos besar.

Aku tersenyum sesal ketika beberapa detik tadi sempat melihat keningnya yang mengkerut.

"Ada apa, Pak?"

"Kamu ini, dari tadi dipanggil. Melamun saja."

"Maaf, Pak. Omong-omong ada apa yah, Pak? Tumben bapak yang ke sini. Biasanya juga bapak yang manggil ke ruangannya bapak. Itu pun dengan intercome."

Pak Bagas menghela, "Justru karena kamu tidak menjawab panggilan saya dari tadi, makanya saya kemari. Sebenarnya kamu kenapa? Ada masalah?"

Aku menggeleng, lalu menampilkan raut penuh sesal sekali lagi. Lagi-lagi aku gagal mengabaikan kejadian yang lalu.

"Maaf, Pak. Hanya masalah keluarga." kataku.

"Baiklah. Saya tidak akan bertanya masalah apa itu, karena saya yakin kamu bisa menyelesaikannya dan bekerja dengan baik kembali."

Aku tersenyum mendengar balasan pak Bagas seperti itu, "Terima kasih, Pak."

Pak Bagas mengangguk, "Oh ya, Sore ini pak Reza akan menggantikan pak Darman, selaku pemegang saham terbesar di sini untuk meninjau hasil kerja karyawan."

Aku mengangguk, "Jadi, pertemuan dengan klien dibatalkan?" aku bersiap untuk menghubungi klien dan mencari nomor yang bisa dihubungi.

Pak Bagas menggeleng, "Tidak. Saya sendiri yang akan bertemu klien bersama Rani dan kamu yang menemani pak Reza di sini."

Aku mengangguk, "Baik, pak."

"Pak, boleh tanya sesuatu?"

Kening pak Bagas mengernyit, namun tidak menolak permintaanku. "Tumben minta izin dulu sebelum bertanya. Ada apa? Apa yang ingin kamu tanyakan?"

Ragu-ragu aku menatapnya. Entah apa nanti tanggapannya. Pasalnya ini adalah pertanyaan sepele namun mungkin bisa berdampak buruk bagi kualitas diriku.


"Em, begini Pak. Pak Darman atau Pak Reza itu orangnya seperti apa? Em... ma-maksudku orang-orang yang memegang saham, mereka itu seperti apa? Saya takut nanti membuat masalah." karena sejujurnya selama dua tahun bekerja di sini, belum sekali pun aku bertatap muka dengan para pemegang saham itu. Nama dan asal usul-mereka pun belum sekali pernah kucari tahu. Dulu, yang kupikir hanyalah mendapat kerja di tempat yang agak jauh dari rumah dan jangkauan Layla dan Reza agar aku tidak perlu bertemu dengan mereka.

"Oh, aku kira apa. Tenang saja, mereka orang-orang yang baik. Tidak keras, tetapi tegas. Apalagi anaknya pak Darman, pak Reza, karyawati di sini banyak yang mengidolakan beliau. Sejak ia masih magang sampai menjadi calon direktur di perusahaan pusat. Makanya setelah saya beritahu info kedatangan beliau, karyawati di sini malah lebih antusias." pak Bagas terkekeh, "Sepertinya kamu juga akan terpesona oleh beliau."
Aku ikut terkekeh. Yah, seandainya saja.

"Ya sudah kalau begitu. Saya balik ke ruangan dulu, kamu lanjutkan pekerjaanmu dan jangan lupa bersiap juga seperti karyawati yang lain." pak Bagas kembali terkekeh kemudian berbalik dan kembali masuk ke dalam ruangannya. Sedangkan aku kembali pada pekerjaanku.

Pukul dua kurang lima belas menit, rombongan dari pemilik saham datang. Pak Bagas dan beberapa orang penting perusahaan datang menyambut termasuk diriku.

Pak Bagas, segera menghampiri lalu memperkenalkan kami satu-satu. Namun, di antara orang-orang yang datang tidak seorang pun yang bernama Reza selaku pemilik saham terbesar. Aku bertanya pada pak Bagas dan ia menyahut bahwa pak Reza masih berada di dalam perjalan dan sebentar lagi akan sampai. Maka dari itu kami semua hanya duduk di lobi sembari menunggu mereka.

Beberapa menit kemudian, dari arah pintu seorang wanita muncul bersama dengan saorang pria. Mereka berdua berjalan ke arah kami tampak bergandengan, tersenyum, dan sama seperti pasangan lain yang sangat serasi.

Aku ditempatku tak bereaksi apa-apa ketika mereka mulai memperkenalkan diri, meski dengan uluran tangan dari laki-laki itu sudah terjulur ke hadapanku.

Pak Bagas menegur halus hingga aku tersadar dan membalas uluran tangan itu.

"Ma...maaf pak saya melamun." sahutku menunduk sesal.

"Maafkan dia, Pak. Sepertinya dia terlalu terpesona dengan wajah Bapak." kelakar pak Bagas yang disambut kekehan oleh orang-orang di sana.

"Tidak apa-apa." sahut Reza sambil tersenyum, "Saya malah senang kalau bu Rayna terpesona oleh pesona saya."

Gombal.

Tapi tetap saja, aku merasa jika wajahku sedang menghangat sekarang. Sedang yang lain malah terkekeh.

"Wah, anak muda sekarang jauh lebih hebat menarik perhatian perempuan dibanding dengan orang-orang dulu. Sepertinya saya harus belajar untuk istri saya." timpal pak Ridwan yang kuketahui dari hasil perkenalan dari pak Bagas dan berhasil menciptakan kekehan dari orang-orang yang ada di sini.

"Jadi, karena semuanya sudah lengkap, sepertinya kita bisa memulainya."

Dan kami semua memulai tur. Para pimpinan divisi masing-masing menjelaskan cara kerja masing-masing staffnya.

"Sayang, aku haus. Mau minum." kata perempuan yang datang bersama Reza tadi, dan kuketahui jika perempuan itu bernama Rika. Cantik dan menawan, bahkan banyak karyawan di sini yang secara terang-terangan mengagumi perempuan itu.

"Mau aku ambilin?" tanya Reza penuh perhatian.

"Boleh." sahutnya, "Tapi kalau kamu gak ada, siapa yang bakal temani aku?" tanyanya dengan nada manja.

Aku hanya memutar mata bosan melihat interaksi mereka.

"Kalau gitu aku minta tolong ke staff yang lain. Tunggu sebentar yah?" sahut Reza penuh perhatian.

"Bagaimana kalau bu Rayna saja?" dan kembali Rika menjawab membuat bola mataku berputar refleks.

Aku bukan pembantu!!!

Aku ingin meneriakkan itu, sayangnya mulutku malah berkata sebaliknya, "Tunggu sebentar, Buk." lalu kakiku melangkah menuju kantin dan membelikannya air mineral.

Aku menyerahkannya dan ia mengambilnya setelah mengucapkan terima kasih. Reza menatapku namun dalam sekejap aku berpaling dan berpura-pura tidak melihatnya.

"Kalau begitu saya permisi." aku beranjak dan mengikuti rombongan diikuti oleh mereka berdua di belakang.

Sepanjang penjelasan para staff, aku tidak yakin jika Reza dan pasangannya sekali pun memperhatikan karena mereka lebih memilih membahas yang lain. Seperti ketika pak Didi menjelaskan tentang kegunaan AAS untuk analisis penentuan unsur-unsur logam dan metaloid, atau ketika pak Sadam menjelaskan analisis batuan pembentuk air asam tambang, kedua orang itu tetap pada kegiatannya masing-masing.

Mereka membuatku muak. Sungguh. Semalam Reza sudah mengungkapkan bagaimana perasaannya, mencoba membuatku mengerti, dan... menciumku.

Oh Tuhan, mengingat ciuman itu rasanya aku benar-benar marah pada lelaki itu. Padahal, ciuman itu adalah ciuman pertamaku, dan ia mengambilnya begitu mudah, dan sekarang lihat apa yang ia lakukan. Ia malah bermesraan dengan perempuan lain. Dan lagi di depanku?

Rasanya air mataku sebentar lagi akan meleleh, hanya menunggu waktu sampai mataku memerah lalu mengerjap dan air mataku akan luruh.

Aku berdehem untuk menetralisir suaraku jadi normal kembali. Entah bagaimana rupaku saat ini, hingga pak Robi salah satu staff melihatku khawatir.

"Sebaiknya ibu istirahat kalau tidak enak badan."

"Apa terlihat jelas, Pak?"

Pak Robi mengangguk. "Sangat jelas."

"Kalau begitu saya permisi ke toilet sebentar." kataku.

Pak Robi mengangguk ragu. Dari rautnya aku bisa menebak jika ia heran dan mungkin juga khawatir melihat wajahku sekarang tetapi tidak bisa memaksaku untuk istirahat.

Selanjutnya aku berpisah dari rombongan. Pak Bagas dan Rani sudah lebih dari lima belas menit yang lalu undur diri untuk menemui klien.

Tiba di toilet air mataku jatuh luruh dan membasahi pipi. Yah aku menangis sejadi-jadinya karena lelaki itu. Dia benar-benar sudah memporak-porandakan diriku.

Aku membasuh muka lalu kembali memakai make up. Bagian bawah mataku masih tampak membengkak meski sudah ditutupi dengan fondation dan shadow warna kulit dan aku harap tidak ada seorang pun yang sadar dengan keadaanku sekarang.

Waktu kunjungan mereka masih tersisa banyak, dan aku harus memantapkan diri juga menguatkan perasaanku untuk melihat Reza dan pasangannya kembali bermesraan.

Aku menghela napas kemudian menepuk pipi lalu mencoba tersenyum. Pantulan wajahku di kaca tampak menggenaskan. Senyum terlihat dipaksakan juga mata sayu yang sulit diubah.

"Semoga saja tidak ada yang sadar." gumamku, kemudian melangkah keluar dari toilet.

"Ray, kamu tidak apa-apa?"

Aku tersentak dan hampir terjatuh kalau saja Reza tak menahan badanku.

"Saya baik, Pak. Terima kasih sudah memperhatikan." sahutku datar, kemudian melanjutkan perjalanan.

"Tunggu, Ray!"

"Lepas...!" kataku seraya menyentak tangan Reza yang menahan tanganku. Air mata yang kuyakin tak akan keluar lagi, kini sudah menumpuk di pelupuk mata. Dan satu hal yang aku syukuri sekarang adalah di lorong ini sangat sepi dan tak ada satu pun karyawan yang lewat.

"Tidak. Sebelum aku tahu kenapa kamu menangis." kata Reza tak mau kalah. Tangannya masih setia menajan tanganku.

Aku mendongak, menatapnya dengan nyalang. Barusan ia bertanya kenapa, sementara sikapnya yang lebih mirip kadal buntung sudah membuatku seperti ini.

"Itu karena kamu." bentakku sambil menekan tiap kata. Tanpa sadar air mataku sudah mengalir.

Reza mengerutkan keningnya dan menatapku heran sekaligus penasaran. "Aku? Kenapa?" tanyanya polos.

"Jangan berpura-pura bodoh." sergahku. Dengan kasar aku melap air mata. Meski itu percuma karena air mataku terus mengalir. "Semalam kamu sudah mengungkapkan perasaanmu, mengajakku untuk memulai suatu hubungan lalu kamu pun mencuri ciuman pertamaku, dan sekarang kamu malah membawa perempuan lain dan bermesraan di depanku. Di depan banyak orang. Apa yang sebenarnya ingin kamu lakukan, hah? Apakah ucapan dan sikapmu yang semalam itu hanya pura-pura? Atau kamu benar-benar ingin kembali pada Layla dengan menggunakan aku sebagai batu pijakan?" lanjutku.

Reza sedikit melunak, ia tidak terlihat ingin memaksaku lagi. Beberapa detik selanjutnya bibirnya melengkung ke atas, "Kamu cemburu?" tanyanya.

"Tidak." sahutku cepat-cepat.

Reza mengusap pipiku yang basah. "Iya, Sayang kamu cemburu. Mengaku saja." katanya.

"Aku tidak cemburu. Dan buat apa aku cemburu?" sanggahku. Kurasa wajahku menghangat. Bukan karena menangis, tetapi karena usapan lembut dari jari jemarinya.

Reza menggeleng dan terkekeh. Ia kemudian membawaku ke dalam pelukannya. "Meski kamu terus menyanggahnya, tapi sikapmu ini sudah menunjukkan jika kamu cemburu. Lagipula, perempuan manja yang bermesraan denganku tadi itu adalah kakakku."



Aku mendongak. "Bohong!!!"

Reza terkekeh kemudian mengambil ponselnya tanpa melepaskan sebelah tangannya dari punggungku lalu kemudian menghubungi seseorang, "Ada yang ingin bicara padamu, Kak... iya kamu membuatnya salah paham... kalau aku gak jadi nikah, ini salahmu yah kak." selanjutnya ia memberikan ponselnya padaku.

"Ha... halo..."

"Oh, hay sayang. Kamu Rayna, kan? Maaf yah kalau tadi aku membuatmu kerepotan." lalu ia terkekeh, "Sebenarnya aku cuma ingin lihat muka kusutnya Reza, eh gak tahunya kamu salah paham. Maaf, yah?!"

Aku mendongak dan menatap Reza yang sedang menatapku.

"Ti... tidak, Buk. Bu Riani tidak salah, jadi tidak usah meminta maaf."

"Hm, oke kalau begitu. Bisa aku kembali bicara pada Reza?"

Aku mengangguk lalu memberikan ponsel pada Reza, "Bu Riani mau bicara."

Reza mengambilnya dan kembali bicara pada bu Riani, "Ya Kak? ... Oh baiklah. Tapi, aku tidak bisa mengantarmu. ... Oke, bye."

Aku menunduk setelah Reza mematikan panggilannya dan menaruh kembali ponselnya ke dalam saku. Sekarang, aku benar-benar merasa bodoh. "Ja... jadi?"

Reza mangangguk, "Dan kami tidak menjalin hubungan seperti apa yang ada di kepalamu itu, Sayang." katanya seraya mengurai pelukan. Kedua tangannya berada di kedua sisi wajahku dan membuatku mendongak menatap wajahnya. Reza terlihat tersenyum. "Kalau gitu kamu mau kan kasi aku kesempatan?"

Jantungku bergemuruh, bukan lagi karena sesak yang menghantap dada, namun karena rasa haru yang membuncah dari dalam dada.

Reza kembali membawaku ke dalam pelukannya, menenangkanku dengan usapan lembut di punggungku. "Ray, aku sudah lama menunggu kesempatan ini, kalau kamu menolakku, aku mungkin tidak akan bisa bersama dengan perempuan lain, kecuali kalau kamu menarik hatiku keluar dari tubuhku dan membawanya bersamamu."

Aku belum bersuara, namun ragu-ragu tanganku bergerak untuk membalas pelukannya. "Jangan. Nanti kamu mati."

"Kalau mati karena kamu, aku rela."

Aku menggeleng, "Gak boleh."

"Jadi?"

Aku mengangguk, "Iya. Aku mau." kataku malu-malu lalu menyembunyikan wajahku di dadanya.

Reza semakin mengeratkan pelukannya, "Asal kamu tahu Ray, sekali kamu menerimaku, aku tidak akan pernah melepaskanmu."

Dan aku mengangguk dalam pelukannya, "Iya."

Yah, pada akhirnya aku sadar, meski aku berusaha untuk melupakan Reza, hatiku selalu bertindak sebaliknya. Tanpa sadar aku selalu menunggu sosoknya untuk berpaling padaku dan menghampiriku.

Sosok yang dari dulu selalu kukagumi, kucintai dalam kediamanku, kini berdiri di hadapanku memelukku erat, dan menawarkanku sebuah komitmen yang dulu hanya bisa kuharapkan dalam semu.

"Aku cinta kamu."

Reza mengangguk, "Aku juga cinta kamu."

Dan kini, tiap air mata kesedihan yang pernah menetes dari mata berubah jadi air mata haru karena kebahagiaan.

END
SEBELUMNYA
Bagaimana pendapatmu dengan cerita ini?
Share:
Comments
Comments

1 comment:

TERBARU

Copyright © 2014 - SUKA SUKA MICKEY | Powered by Blogger Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com